Senin, 05 September 2016

MENGAPA NIKMAT DIGANTI BENCANA

Ibnul Qayyim rahimahullah :
 Diantara hukuman akibat dosa-dosa adalah menyebabkan lenyapnya kenikmatan dan datangnya hukuman. Jadi tidaklah sebuah kenikmatan dalam bentuk apapun yang lenyap atau meninggalkan seorang hamba, kecuali sebabnya karena sebuah dosa. Demikian pula tidaklah datang sebuah hukuman kecuali disebabkan karena dosa juga.

Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu :

 مَا نَزَلْ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ. 

 “Tidaklah sebuah bencana menimpa kecuali disebabkan karena dosa, dan bencana tersebut tidak akan dihilangkan kecuali dengan taubat.”

 ▫Allah Ta’ala berfirman :

  وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْ عَنْ كَثِيْرٍ. 

 “Musibah apa saja yang menimpa kalian maka itu akibat perbuatan tangan (dosa-dosa) kalian, itu pun masih banyak yang Allah maafkan.” (QS. Ay-Syura: 30)

▫Juga firman-Nya :

 ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوْا مَا بِأَنْفُسِهِمْ.  

“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak merubah kenikmatan yang Dia berikan kepada suatu kaum hingga mereka sendirilah yang merubahnya.” (QS. Al-Anfal: 53)

Jadi Allah Ta’ala telah mengabarkan bahwa Dia tidak akan merubah kenikmatan yang Dia berikan kepada seorang pun hingga hamba itu sendirilah yang merubahnya. Yaitu dia merubah ketaatan kepada Allah dengan maksiat kepada-Nya, merubah syukur kepada-Nya dengan tidak mensyukuri-Nya, dan merubah sebab-sebab keridhaan-Nya dengan sebab-sebab kemurkaan-Nya. Jadi jika seorang hamba merubahnya maka Allah pun merubahnya sebagai balasan yang setimpal, dan Rabb-mu sama sekali tidak berbuat zhalim kepada hamba-hamba-Nya.

 🔄 Sebaliknya, jika seorang hamba merubah maksiat dengan ketaatan, Allah pasti akan merubah hukuman-Nya dengan keselamatan.
▫Allah Ta’ala berfirman :

  إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوْا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِقَوْمٍ سُوْءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُوْنِهِ مِنْ وَالٍ. 

 “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri, dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain-Nya.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)

📌 Sumber artikel :
📚 Ad-Daa’ wad Dawaa’, hal. 113-114 Dikutip dari Al-Majmu’ Al-Qayyim min Kalaam Ibnil Qayyim, hal. 1016
 📈 http://forumsalafy.net/mengapa-nikmat-diganti-bencana/


 🎯 Majmu'ah Ashhaabus Sunnah
🚀 ©hannel telegram : http://bit.ly/ashhabussunnah 

Selasa, 23 Agustus 2016

MAKAR ORANG KAFIR MELALUI MEDIA MASSA (Bag. 05)*

*MAKAR ORANG KAFIR MELALUI MEDIA MASSA
📌 Upaya Menghancurkan Agama Allah ‘azza wa jalla

Orang-orang kafir dan munafik tiada henti untuk menghancurkan agama Allah ‘azza wa jalla. Semenjak dahulu hingga sekarang makar itu terus berlangsung. Mereka hendak memadamkan cahaya Islam melalui beragam media yang dimilikinya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

يُرِيدُونَ لِيُطۡفِ‍ُٔواْ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفۡوَٰهِهِمۡ وَٱللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٨

“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut-mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya.” (ash-Shaf: 8)

Untuk menghancurkan akhlak kaum muslimin, orang-orang kafir, dan munafik merancang strategi dengan menerbitkan majalah, tabloid, surat kabar, dan media audio-visual, seperti televisi, yang menyuguhkan kisah-kisah berselera rendah. Menampilkan gambar-gambar seronok. Menyajikan informasi yang membangkitkan birahi.

Sementara itu, dalam dunia sosial politik ditebar beragam berita yang merendahkan penguasa, bahkan mencela dan mencacatnya. Walau pun mereka membungkusnya dengan kemasan kata “mengkritisi” atau dengan bahasa “pers sebagai alat kontrol sosial”.

Dampak dari media semacam ini, masyarakat terdidik untuk suka mencela pemerintah. Padahal tindakan demikian bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللهُ

“Barang siapa yang merendahkan (menghina, mencela) penguasa Allah ‘azza wa jalla di muka bumi, Allah ‘azza wa jalla akan merendahkan (menghinakan)nya.” (HR. at-Tirmidzi, no. 2224, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam ash-Shahihah, no. 2296)

Demikian pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحُ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قُبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ

“Barang siapa ingin menasihati penguasa karena satu perkara, hendaknya jangan melakukannya di hadapan publik (secara terbuka). Akan tetapi, lakukanlah dengan cara mengambil tangannya lantas (menasihatinya) di tempat tersembunyi bersamanya (tidak dipublikasikan). Jika ia menerima (nasihat)nya, itulah (yang diharap). Jika tidak menerima nasihatnya, sungguh nasihat itu telah sampai kepadanya.” (HR. Ahmad dari Syuraih bin Ubaid radhiallahu ‘anhu)

Adapun untuk menebar kerancuan memahami Islam, sejumlah media telah getol menyuguhkannya. Pemahaman Islam Liberal, Syiah, Mu’tazilah dijajakan dalam beragam bentuk, baik secara terang-terangan maupun melalui cara halus tersembunyi. Bahkan, ada sebuah terbitan yang menyediakan halaman khusus.

Selain itu, media pun kerapkali menggiring masyarakat untuk membenci dan tak menyukai orang-orang yang menampakkan syiar-syiar keislaman. Peristiwa terorisme dijadikan kuda tunggangan untuk menghantam orang-orang yang berpegang teguh kepada Islam yang benar. Tak sedikit media yang tak mampu membedakan siapa teroris dan siapa yang benar-benar mengamalkan Islam secara baik dan benar. Satu contoh, tuduhan Wahabi identik terorisme seringkali dilontarkan media. Padahal, bila ditelisik, pengelola media itu sendiri tidak memahami sejatinya apa dan bagaimana Wahabi itu. Tragis!

Kini, tampak di hadapan kita betapa banyak anggota masyarakat yang tak mengindahkan bimbingan Islam yang mulia ini. Senyatanya, inilah yang dikehendaki orang-orang kafir dan munafik. Mereka menghendaki agar ajaran Islam ditinggalkan oleh umatnya. Dengan begitu Islam tiada menyinari kehidupan manusia. Begitulah makar orang-orang kafir dan munafik. Wal ‘iyadzu billah.

Namun, yang menjaga Islam adalah Allah ‘azza wa jalla. Kesucian dan keberadaannya dipelihara Allah ‘azza wa jalla. Betapa pun busuk makar orang-orang kafir dan munafik, Allah ‘azza wa jalla tetap akan menampakkan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Kebenaran akan tetap tampak walau orang-orang kafir, munafik, musyrik membencinya.
هُوَ ٱلَّذِيٓ أَرۡسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلۡهُدَىٰ وَدِينِ ٱلۡحَقِّ لِيُظۡهِرَهُۥ عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡمُشۡرِكُونَ ٩

“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkannya di atas segala agama meskipun orang-orang musyrik membencinya.” (ash-Shaf: 9)

Hati-hati memilih media. Sebab, hal ini menyangkut keselamatan agama yang ada pada kita.

Allahu a’lam.


🌎 Sumber: http://asysyariah.com/makar-orang-kafir-melalui-media-massa/

 ✍ Ditulis oleh Al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin hafidzahullahu ta'ala

📎 hashtag : #bijak_menyikapi_media


〰〰〰〰〰〰〰
📚🔰Salafy Kendari || https://tlgrm.me/salafykendari

MAKAR ORANG KAFIR MELALUI MEDIA MASSA (Bag. 04)

📌 Propaganda ala Munafikin

Peristiwa itu terjadi setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari peperangan Bani Musthaliq. Adapun Bani Musthaliq itu sendiri merupakan salah satu nama kabilah dari rumpun kabilah Khuza’ah. Bani Musthaliq menetap di wilayah Qudaid, berdekatan dengan mata air al-Muraisi.

Setelah kaum muslimin berhasil menaklukan pasukan Bani Musthaliq, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta pasukan kaum muslimin pulang ke Madinah. Saat tiba di satu daerah dekat Madinah, beliau beserta pasukannya beristirahat. Turut dalam rombongan pasukan istri beliau, Aisyah radhiallahu ‘anha. Kala malam tiba, beliau dan pasukannya bergerak meninggalkan tempat itu menuju Madinah.

Namun, saat pasukan itu bergerak. Aisyah radhiallahu ‘anha tidak bersama mereka. Aisyah radhiallahu ‘anha tertinggal. Itu terjadi tatkala Aisyah radhiallahu ‘anha telah menunaikan keperluannya, lalu terasa kalungnya terjatuh. Maka, ia pun segera kembali ke tempat tadi untuk mencari kalungnya. Akhirnya, setelah dicari, kalung itu pun ditemukannya. Ia pun bergegas kembali ke rombongan pasukan. Namun, ternyata rombongan pasukan telah berangkat menuju Madinah. Aisyah radhiallahu ‘anha tertinggal.

Lantas Aisyah radhiallahu ‘anha berdiam diri di tempatnya semula. Harapannya, rombongan pasukan yang bersamanya mengetahui kalau dirinya tertinggal lalu kembali ke tempat itu. Saat menunggu, Aisyah radhiallahu ‘anha tertidur.

Dalam waktu bersamaan, ada juga seorang sahabat bernama Shafwan bin al-Mu’aththal as-Sulami radhiallahu ‘anhu tertinggal dari pasukannya. Ia tertinggal lantaran tertidur dan tidak diketahui oleh anggota pasukan lainnya. Maka, ketika ia bergerak mengejar rombongan pasukan, Shafwan radhiallahu ‘anhu melihat sesuatu. Ia dekati. Ternyata, yang ada di hadapannya adalah Aisyah radhiallahu ‘anha.

Saat itu perintah berhijab belum turun sehingga Shafwan radhiallahu ‘anhu mengenali bahwa itu adalah Aisyah radhiallahu ‘anha. “Inna lillaahi wa inna ilaihi raji’uun, seorang istri Rasulullah?” Kata-kata itu terucap olehnya.

Aisyah radhiallahu ‘anha pun terbangun lalu menutupkan jilbab ke wajahnya.

Shafwan pun mendekatkan untanya. Setelah Shafwan dudukkan binatang tunggangannya, Aisyah radhiallahu ‘anha pun menaikinya. Shafwan berjalan di depan binatang tunggangannya seraya memegang tali kendali. Ia berjalan cepat tanpa berkata sepatah kata pun. Hingga kemudian dirinya berhasil mengejar rombongan pasukan di satu daerah bernama Nahru azh-Zhahirah.

Abdullah bin Ubay, sang munafik, melihat hal itu. Akal busuknya langsung bergerak. Kebenciannya nan memuncak mendapat angin untuk dimuntahkan. Ia langsung mencari informasi. Menampung beragam berita. Menyebarkannya. Dengan gencar provokasi dilancarkan. Tuduhan keji pun dilontarkan. Aisyah radhiallahu ‘anha dituduh melakukan maksiat. Masyarakat pun goncang. Bara telah menyala.

Keadaan runyam di tengah kaum muslimin tentu menyenangkan orang-orang munafik di Madinah. Kesempatan untuk menggunjing rumah tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertambah menguat. Fitnah berkecamuk.

Namun, makar orang-orang munafik itu hancur berserak setelah wahyu turun. Aisyah radhiallahu ‘anha dinyatakan suci bersih. Tuduhan keji tiada terbukti. Bahkan, Allah ‘azza wa jalla mengancam para penyebar berita dusta nan keji dengan ancaman mengerikan. Firman-Nya,

إِنَّ ٱلَّذِينَ جَآءُو بِٱلۡإِفۡكِ عُصۡبَةٞ مِّنكُمۡۚ لَا تَحۡسَبُوهُ شَرّٗا لَّكُمۖ بَلۡ هُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۚ لِكُلِّ ٱمۡرِيٕٖ مِّنۡهُم مَّا ٱكۡتَسَبَ مِنَ ٱلۡإِثۡمِۚ وَٱلَّذِي تَوَلَّىٰ كِبۡرَهُۥ مِنۡهُمۡ لَهُۥ عَذَابٌ عَظِيمٞ ١١

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. Janganlah kalian kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian, bahkan itu ada baiknya (hikmahnya) bagi kalian. Tiap-tiap seorang dari mereka mendapatkan balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar dalam menyiarkan berita bohong itu, maka baginya siksa yang besar.” (an-Nur: 11)


⏳ Insya Allah bersambung

MAKAR ORANG KAFIR MELALUI MEDIA MASSA (Bag. 03)

📌 Makar Yahudi Kini

Yahudi kerap kali memanfaatkan media guna menyusupkan pemahamannya. Melalui media, disusupkanlah pemahaman-pemahaman yang mengagungkan kaum kafir. Diopinikan, seakan persenjataan dan kelengkapan militer orang-orang kafir itu canggih dan tak ada yang mampu menandinginya.

Propaganda melalui tayangan telivisi, misalnya, bisa berakibat menumbuhkan jiwa inferior (minder, merasa kecil dan tak berdaya) pada sebagian kaum muslimin di hadapan kaum kafir. Seakan-akan orang-orang kafir itu hebat, sedangkan kaum muslimin lemah. Seakan-akan kaum kafir itu unggul, sedangkan kaum muslimin tersisih.

Secara perlahan namun pasti, nilai-nilai itu tertanam dalam benak sebagian kaum muslimin. Mereka mengelu-elukan kehidupan orang-orang kafir, bahkan meniru gaya hidup mereka dan membuang ajaran Islam. Begitu dahsyat pengaruh media massa.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ لَوْ دَخُلُوا حُجْرَ ضَبٍّ لَدَخَلْتُمُوهُ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟

“Sungguh kalian akan mengikuti jejak orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Andai mereka masuk ke lubang dhab (binatang sejenis reptil), niscaya kalian akan mengikutinya. Ditanyakan, ‘Wahai Rasulullah, Yahudi dan Nasranikah?’ Jawabnya, ‘Siapa lagi?’” ( HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu)

Dunia film, sinetron, drama dengan segala bentuk aktingnya menjadi daya tarik. Sebagian kaum muslimin bahkan tergiur dengan pertunjukan akting tersebut. Lebih tragis, ada sekelompok aktivis dakwah yang melabelkan diri dengan sebutan “salaf” pun turut berakting. Melalui sarana televisi yang dikelolanya, mereka tayangkan bentuk-bentuk drama berdurasi pendek. Setapak demi setapak program siaran televisi yang dikelolanya telah membuka celah untuk mengikuti jejak Yahudi dan Nasrani.

Melalui tayangan televisi yang dikelola mereka terkuak pintu petaka. Di antara pemirsa yang sebagiannya para ibu, mulai tergoda. Para ibu muda belia yang masih bersuami ini mulai berceloteh tentang sang ustadz, tentang baju yang dikenakan sang ustadz, tentang sesuatu yang membangkitkan daya tarik.

Siapa yang bisa menjamin hati bisa tetap selamat? Siapa pula yang bisa menjamin bulir-bulir syahwat tak akan bersemi di lubuk hati terdalam?

Kala pintu fitnah itu dikuak semakin terbuka, saat itu rindu dan cinta membara. Syahwat pun menggelora. Nafsu bergejolak. Telah tiadakah kecemburuan di relung hati sang suami kala celoteh sang istri berucap tentang pria lain? Melalui televisi yang dikelolanya, mereka tengah menabur badai. Nas’alullaha as-salamah.


⏳ Insya Allah bersambung

🌎 Sumber: http://asysyariah.com/makar-orang-kafir-melalui-media-massa/

 ✍ Ditulis oleh Al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin hafidzahullahu ta'ala

📎 hashtag : #bijak_menyikapi_media


〰〰〰〰〰〰〰
📚🔰Salafy Kendari || https://tlgrm.me/salafykendari

MAKAR ORANG KAFIR MELALUI MEDIA MASSA (Bag. 02)

📡📌 Propaganda ala Yahudi

Dalam lintasan sejarah terpatri nama Abdullah bin Saba. Sosok pria keturunan Yahudi kelahiran Kota Shan’a, Yaman. Hidupnya menampakkan seorang muslim, namun yang terpendam dalam hatinya; permusuhan dan kebencian nan sengit kepada Islam dan kaum muslimin. Hidupnya nomaden, selalu berpindah dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Di setiap wilayah yang disinggahinya senantiasa menebarkan pemahaman sesatnya.

Abdullah bin Saba memompa masyarakat dengan propaganda licik. Menyemai permusuhan dalam tubuh umat agar membenci penguasa muslim, yaitu Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Upaya menghasut kaum muslimin yang dilakukan Yahudi satu ini, digalang di beberapa daerah. Bashrah, Kufah, Syam, Hijaz, dan Mesir adalah lahan garap untuk menumbuhsuburkan kebencian umat kepada pemerintahan kaum muslimin.

Saat pergerakannya tidak menampakkan hasil yang memuaskan, sang Yahudi ini beralih menuju Mesir. Di tempat ini ia melancarkan makarnya. Penduduk Mesir dihasut. Ia tebar beragam informasi menyesatkan. Dalam tempo yang dirasa tepat, penduduk Mesir itu pun digerakkan menuju Kota Madinah.

Aksi provokasi Yahudi telah memerdaya umat. Kebencian, permusuhan, dan kemarahan telah menyelimuti. Mereka tiada segan untuk menekan dan melawan Amirul mukminin, sahabat mulia, menantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan khalifah, Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Mata hati mereka telah terkunci. Hawa nafsu mencengkram kukuh, menggelapkan pandangan akal mereka. Terjadilah apa yang terjadi. Para demonstran mengepung kediaman Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Suplai makanan dan minuman dihentikan. Khalifah beserta keluarga dikungkung.

Akhir dari konspirasi jahat ini, terbunuhlah Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Tikaman pedang mengoyak tubuh sahabat mulia ini. Tetesan darah seorang syahid membasahi mushaf al-Qur’an. Tindak angkara murka telah menodai sejarah umat Islam. Melalui beragam media yang dikuasai, Abdullah bin Saba’ berhasil merekrut para pengikutnya untuk berbuat anarkis. Sebuah tindak zalim menjijikkan. Persekongkolan jahat telah membuahkan malapetaka. Kekacauan melingkupi umat. Semua tercatat dalam lembaran hitam kelam sejarah umat. Ingat, Yahudi di balik semua peristiwa bersimbah darah ini. (Lihat Mukhtashar Sirah ar-Rasul, asy-Syaikh Muhammad bin Abdilwahhab, hlm. 218)

Begitulah watak Yahudi. Lihai melakukan beragam hilah (tipu muslihat). Dahulu, kaum Yahudi melakukan hilah sebagai upaya menolak kebenaran. Mereka tak segan melakukan tipu muslihat dalam rangka menjaga kekufuran dan kesesatan yang diyakininya. Mereka lakukan tipu muslihat lantaran tak mampu secara kesatria dan terang-terangan menunjukkan hujahnya. Karena itu, seringkali mereka berbuat makar secara sembunyi-sembunyi.

Ketika Perang Badr usai, manusia berbondong-bondong memeluk Islam. Orang-orang Yahudi pun tak kuasa menghalanginya. Lalu, orang-orang Yahudi di Madinah membuat makar. Mereka ucapkan, “Masuklah Islam saat awal siang. Jika telah akhir siang, murtadlah kalian dari Islam. Katakan, ‘Kami tak memperoleh kebaikan dalam agama Muhammad.’ Niscaya orang akan mengikuti jejak kalian karena kalian ahli kitab.”

Makar Yahudi ini dibongkar Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya,

وَقَالَت طَّآئِفَةٞ مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ ءَامِنُواْ بِٱلَّذِيٓ أُنزِلَ عَلَى ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَجۡهَ ٱلنَّهَارِ وَٱكۡفُرُوٓاْ ءَاخِرَهُۥ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ ٧٢

“Sekelompok ahli kitab (kepada sesamanya) berkata, ‘Perlihatkanlah (seolah-olah) kalian beriman pada apa yang diturunkan kepada orang-orang yang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran).” (Ali Imran: 72)


⏳ Insya Allah bersambung

🌎 Sumber: http://asysyariah.com/makar-orang-kafir-melalui-media-massa/

 ✍ Ditulis oleh Al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin hafidzahullahu ta'ala

📎 hashtag : #bijak_menyikapi_media


〰〰〰〰〰〰〰
📚🔰Salafy Kendari || https://tlgrm.me/salafykendari

MAKAR ORANG KAFIR MELALUI MEDIA MASSA (Bag. 01)

Freedom of the Press. Ya, kebebasan pers. Bebas tanpa batas. Kalau pun ada batas, maka batas itu pun masih ditafsir bebas tiada berbatas.

Freedom of the Press. Deret kalimat ampuh untuk memayungi keberadaan media massa di tengah masyarakat dan di hadapan penguasa. Dengan slogan ‘Kebebasan Pers’ media massa bebas melakukan pemberitaan sesuai misinya. Ungkapan ‘Kebebasan Pers’ sendiri bila ditelisik bukan asli karya anak bangsa Indonesia. Ungkapan itu muncul bersumber dari Amandemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat: “Congress shall make no law… abridging the freedom of speech, or of the press.” (Kongres dilarang membuat hukum… yang membatasi kebebasan berbicara atau pers).

Karena itu, tak aneh bila ‘Kebebasan Pers’ sangat kental beraroma Amerika. Lebih-lebih, lahirnya Undang-undang Pers No. 40/1999 di Indonesia tak lepas dari keterlibatan ahli hukum Article 19, Toby Mendel. Sisi lain, UU Pers No. 40/1999 melandasi dengan Pasal 19 UU HAM: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apa pun juga dengan tidak memandang batas-batas.” (Lihat Membincang Pers, Kepala Negara, dan Etika Media, Sirikat Syah, hlm. 3-4)

Lengkaplah sudah arti sebuah kebebasan. Bebas menerabas kultur masyarakat Indonesia yang banyak diwarnai norma agamis. Bebas tidak memandang batas-batas. Jadi, media massa pun bebas menyiarkan berita selama ada fakta. Tak memedulikan dampak berita itu di tengah masyarakat. Juga tak memedulikan asas kepatutan dan moral. Sebut saja, siaran televisi berisi talk show yang mengadu domba, sinetron yang menyesatkan dan membodohkan, atau sebuah acara yang menayangkan naluri dan perilaku rendah manusia digali dan diekspos (Lihat Membincang Pers, hlm.194), infotainment yang banyak membongkar aib, serta berita yang dikemas sesuai misi meraup dunia dan kekuasaan. Bahkan, tak sedikit yang terang-terangan menyajikan menu yang mengundang syahwat selera rendah.

Media massa telah menjadi alat untuk menyuarakan kebebasan yang tiada kendali. Walau dengan kebebasan itu bakal menimbulkan berbagai kerusakan di tengah masyarakat. Media massa semakin jauh dari kesantunan. Media massa menjadi pupuk penyubur para kapitalis tak berhati lurus.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

إِنَّ ٱلَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ ٱلۡفَٰحِشَةُ فِي ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ١٩

“Sesungguhnya orang-orang yang menginginkan agar (berita) perbuatan yang keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (an-Nur: 19)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah memberi penjelasan terkait ayat di atas bahwa yang dimaksud “menyukai penyebaran perbuatan keji (al-fahisyah) di kalangan orang-orang beriman” meliputi dua makna:

1⃣ Menyukai al-fahisyah tersebar di tengah kaum muslimin.

Terkait hal ini, menyebarkan beragam film cabul dan surat kabar (atau media lainnya –red.) yang jelek, jahat dan porno. Media-media semacam ini, tak diragukan lagi, merupakan media yang menyukai penyebaran al-fahisyah di tengah masyarakat muslimin. Mereka menghendaki timbulnya kerusakan agama pada diri seorang muslim. Tentunya, kerusakan itu timbul melalui sebab perbuatan mereka (yang menyebarkan al-fahisyah) melalui beragam majalah, surat kabar, dan media lainnya. Barang siapa menyukai al-fahisyah itu tersebar di tengah kaum muslimin, dia berhak untuk mendapatkan azab nan pedih di dunia dan akhirat.

2⃣ Menyukai al-fahisyah tersebar pada kalangan tertentu, bukan lingkup masyarakat Islam secara menyeluruh.

Balasan bagi yang berbuat demikian ialah diazab di dunia dan akhirat. (Syarhu Riyadhi ash-Shalihin, I/598)

HUKUM HORMAT KEPADA BENDERA DAN LAGU KEBANGSAAN

Al Lajnah Ad Daimah Saudi Arabia:

Apakah boleh berdiri untuk menghormati lagu kebangsaan atau hormat kepada bendera?

Jawab:

Tidak boleh bagi seorang muslim berdiri untuk memberi hormat kepada bendera dan lagu kebangsaan.

📌 Ini termasuk perbuatan bid’ah yang harus diingkari yang tidak pernah dilakukan di masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam ataupun pada masa al-Khulafa’ Ar-Rasyidin Radiyallahu‘anhum.

💢 Dan yang demikian ini bertentangan dengan kesempurnaan TAUHID yang wajib dan keikhlasan di dalam mengagungkan Allah semata, dan ini merupakan jalan menuju KESYIRIKAN.

🔍 Dan yang demikian ini juga termasuk sikap tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir, dan merupakan sikap taklid (mengikuti) kebiasaan mereka yang jelek, serta menyamai mereka dalam sikap berlebihan terhadap para pemimpin dan tokoh-tokoh mereka.

👋 Padahal, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita meniru seperti mereka atau menyerupai mereka.

Wa billahi at-Taufiq, wa shallaallhu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘alihi wa shahbihi wa sallam.

📚[Fatawa Al Lajnah Ad Daimah hal:149]
telegram.me/Berbagiilmuagama

…………………………………………………

APABILA SEORANG WANITA TERMASUK PENGHUNI SURGA SEMENTARA SUAMINYA TIDAK MASUK SURGA, SIAPA YANG AKAN MENJADI PENDAMPINGNYA KELAK ?

_Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin rahimahullah_
*P E R T A N Y A A N*
 "Apabila seorang wanita termasuk penghuni surga sementara ia belum menikah saat di dunia, atau telah menikah namun suaminya tidak masuk surga, siapakah yang akan menjadi pendampingnya kelak ?"

*J A W A B A N*
"Jawabannya diambil dari keumuman firman Allah Ta'ala :

 وَلَـكُمْ فِيْهَا مَا تَشْتَهِيْۤ اَنْفُسُكُمْ وَلَـكُمْ فِيْهَا مَا تَدَّعُوْنَ   ؕ

"... di dalamnya (surga) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh apa yang kamu minta"_ [QS. Fussilat: Ayat 31]

Dan dari firman Allah Ta'ala :

📖 وَفِيْهَا مَا تَشْتَهِيْهِ الْاَنْفُسُ وَتَلَذُّ  الْاَعْيُنُ ۚ  وَاَنْتُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ ۚ

_"...dan di dalam surga itu terdapat apa yang diingini oleh hati dan segala yang sedap (dipandang) mata. Dan kamu kekal di dalamnya"_ [QS. Az-Zukhruf: Ayat 71]

🌻 Seorang wanita, apabila ia termasuk penghuni surga sedangkan ia belum menikah, atau suaminya bukan termasuk penghuni surga, maka wanita tersebut jika masuk surga di sana ada di antara penghuni surga dari kalangan lelaki yang belum menikah, dan mereka -```maksudku para lelaki penghuni surga yang belum menikah```- bagi mereka itu para istri dari kalangan bidadari, dan bagi mereka para istri dari kalangan wanita dunia jika mereka mau dan jiwa mereka menginginkannya.
👉 Seperti itu pula kita katakan terkait dengan keadaan wanita *apabila belum memiliki suami atau bersuami di dunia tapi tidak masuk surga bersamanya, bahwa jika ia berkeinginan untuk menikah maka ia pasti mendapatkan apa yang diinginkannya*, berdasarkan keumuman ayat-ayat ini"

_______________
📚 ```Majmu' Fatawa Ibni 'Utsaimin (2/52)```

*****
:: http://bit.ly/alistifadah ::
🗃 Arsip WALIS » http://walis-net.blogspot.com/2016/08/apabila-seorang-wanita-termasuk.html
🗳 Kritik dan saran » http://goo.gl/d0M01P
🕰 Faedah Lain » http://walis.salafymedia.com/

•┈┈┈┈•◈◉✹❒📚❒✹◉◈•┈┈┈┈•

📌 إذا كانت المرأة من أهل الجنة ولم يدخل زوجها الجنة فمن يكون لها ؟

◈ سُـــئل فـضـيـلة الشـيـخ /
محمّد بن صالح العثيمين رحمه الله

❍ الســـــــــؤال :
إذا كانت المرأة من أهل الجنة ولم تتزوج في الدنيا ، أو تزوجت ولم يدخل زوجها الجنة فمن يكون لها ؟

❒ الجـــــــــواب :
" الجواب يؤخذ من عموم قوله تعالى : ( وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ ) فصلت/31 ، ومن قوله تعالى : ( وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الأَعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ) الزخرف/71 ، فالمرأة إذا كانت من أهل الجنة ولم تتزوج ، أو كان زوجها ليس من أهل الجنة فإنها إذا دخلت الجنة فهناك من أهل الجنة من لم يتزوجوا من الرجال ، وهم –أعني من لم يتزوجوا من الرجال- لهم زوجات من الحور ، ولهم زوجات من أهل الدنيا إذا شاءوا واشتهت ذلك أنفسهم . وكذلك نقول بالنسبة للمرأة إذا لم تكن ذات زوج ، أو كانت ذات زوج في الدنيا ولكنه لم يدخل معها الجنة أنها إذا اشتهت أن تتزوج فلابد أن يكون لها ما تشتهيه لعموم هذه الآيات " اهـ

🔦انـظـر: [ من مجموع فتاوى الشيخ ابن عثيمين (2/52) ] .

•┈┈┈┈••✦✿✦••┈┈┈┈•
  ✍ قـناة السنّة السلفية
http://cutt.us/WRFgL

•••••••
📲 *Majmu'ah AL ISTIFADAH*
🌍 http://bit.ly/tentangwalis
🔵 Telegram http://bit.ly/alistifadah JOIN
📲 مجموعة الاستفادة
🗓 Jum'at, 16 Dzulqa'dah 1437H / 19 Agustus 2016M

•┈┈┈┈•◈◉✹❒📚❒✹◉◈•┈┈┈┈•

Minggu, 07 Agustus 2016

Mujarabnya Doa Bukan Hanya Dari Sisi Lafaznya❗

Berkata Ibnul Qoyyim Rohimahullah Ta'ala :


وكثيرا ما تجد أدعية دعا بها قوم فاستجيب لهم، فيكون قد اقترن بالدعاء ضرورة صاحبه وإقباله على الله، أو حسنة تقدمت منه جعل الله سبحانه إجابة دعوته شكرا لحسنته، أو صادف وقت إجابة، ونحو ذلك، فأجيبت دعوته، فيظن الظان أن السر في لفظ ذلك الدعاء فيأخذه مجردا عن تلك الأمور التي قارنته من ذلك الداعي، وهذا كما إذا استعمل رجل دواء نافعا في الوقت الذي ينبغي استعماله على الوجه الذي ينبغي، فانتفع به، فظن غيره أن استعمال هذا الدواء بمجرده كاف في حصول المطلوب، كان غالطا، وهذا موضع يغلط فيه كثير من الناس.

"🔷Dan kebanyakan apa yang engkau dapati dari doa-doa yang dibaca oleh beberapa kaum dan ternyata doa-doa mereka tersebut dikabulkan.

Padahal doa tersebut beriringan dengan
🔹Keadaan darurat dari orang yang berdoa dan

🔹Ia menghadapkan jiwanya pada Allah

🔹Atau ada kebaikan yang mendahului doa tersebut lalu Allah menjadikan pengabulan doa tersebut sebagai rasa syukur atas kebaikannya.

🔹Atau doanya bertepatan dengan waktu terkabulnya doa.

Atau yang semisal dengan itu sehingga doanya dikabulkan.

▪️Namun orang-orang menduga bahwa rahasia terkabulnya doa ada pada lafaz doanya sehingga  ia menggunakan lafaz tersebut saja tanpa memperhatikan hal-hal diatas yang beriringan dengan doa.

🔻Hal ini sama dengan seseorang yang menggunakan sebuah obat yang mujarab pada waktu yang tepat sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka obat tersebut memberikan manfaat baginya.

🔸Namun orang lain mengira bahwa dengan semata-mata menggunakan obat tersebut cukup untuk meraih apa yang ia inginkan(kesembuhan)

🔴Hal ini merupakan kesalahan, dan tempat dimana kebanyakan manusia salah padanya...

📚 Al Jawabul Kaafy hal 15

📄Alih bahasa : Abu Sufyan Al Musy Ghofarohullah

-------------------------

  Channel Telegram UI
         http://bit.ly/uimusy

Kunjungi Website Kami MUSY
            [Muslim Salafy]
www.musy.salafymedia.com

Rabu, 11 Mei 2016

HUKUM DOA BERJAMAAH DI AKHIR MAJELIS

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah 

 Pertanyaan: Sebagian orang berkumpul untuk mengucapkan dzikir, dan di akhirnya mereka melakukan doa berjamaaah dengan cara salah satu orang berdoa sedangkan yang lainnya mengaminkan. Benarkah hal ini?

 Jawaban: Hal ini benar jika tidak dijadikan adat. Karena jika dijadikan adat maka menjadi sunnah padahal bukan sunnah. Sehingga jika hal ini adat yakni setiap kali bermajelis, mereka tutup dengan doa, maka hal ini perkara yang diadakan alias bidah yang tidak kami mengetahuinya diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Namun jika terkadang dilakukan seperti lewat terhadap mereka ancaman atau memberi motivasi, maka tidak masalah. Karena ada perbedaan antara sesuatu yang sifatnya permanen dan yang sementara. Sesuatu yang sifatnya sementara terkadang dilakukan seseorang dan tidak dicela atasnya. Sebagaimana Ar-Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam terkadang sebagian sahabat shalat berjamaah bersama Beliau dalam shalat malam, meskipun demikian bukanlah sunnah seseorang shalat berjamaah dalam.shalat malam kecuali kadang-kadang.

 Liqa' al-Bab al-Maftuh 117

 حكم الدعاء الجماعي آخر المجلس السؤال: بعض الناس يجتمعون على حديث ذكر, وفي النهاية يقومون بدعاء جماعي واحد يدعو والبقية يقولون: آمين, هل هذا صحيح؟الجواب: هذا صحيح إذا لم يتخذ عادة, فإن اتخذ عادة صار سنة, وهو ليس بسنة, فإذا كان هذا عادة كلما جلسوا ختموا بالدعاء، فهذا بدعة لا نعلمها عن النبي عليه الصلاة والسلام, وأما إذا كان أحياناً كأن يمر بهم وعيد أو ترغيب ثم يدعون الله عز وجل فلا بأس, لأنه فرق بين الشيء الراتب والعارض, العارض قد يفعله الإنسان أحياناً ولا يلام عليه, كما كان الرسول عليه الصلاة والسلام أحياناً يصلي معه بعض الصحابة في صلاة الليل جماعة, ومع ذلك ليس بسنة أن يصلي الإنسان جماعة في صلاة الليل إلا أحياناً.

Minggu, 01 Mei 2016

HUKUM MENSHOLATI MAYIT SETELAH DIKUBURKAN

Soal:
apakah boleh mensholati mayit setelah dikubur?? 

 Jawab:
Ya boleh,jika engkau belum mensholati Dia(mayit),maka hendaknya engkau sholat atasnya sekalipun telah dikubur, 🏻Dan begitulah jika engkau belum sholat atasnya maka sholatlah atasnya sekalipun telah dikubur sampai kira-kira satu bulan Nabi shalallahu alaihi wasalam beliau sholat atas mayit setelah dikubur,Dan beliau bangkit (untuk mensholati) Ummu Saad setelah berlalu (dikubur) satu bulan  maka tidak ada dosa dalam hal tersebut 🏻bahkan itu trmasuk sunnah.

Mauqiu Syaikh Ibnu Baaz FIK

 🌏http://bit.ly/Forum_IlmiyahKaranganyar

GERAKAN DALAM SHALAT ADA LIMA MACAM

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah

 Pertanyaan:
 Kami mohon--yang mulia--penjelasan hukum gerakan dalam shalat? 

 Jawaban: Hukum asal bergerak (di luar gerakan shalat) adalah terlarang kecuali jika ada hajat (kebutuhan). Namun perlu diketahui bahwa gerakan dalam shalat (di luar gerakan shalat) itu ada lima macam: 
 1. Gerakan yang diwajibkan. 
2. Gerakan yang diharamkan.
3. Gerakan yang dimakruhkan. 
4. Gerakan yang disunnahkan.
5. Gerakan yang hukumnya mubah (boleh saja).

 ➡Adapun gerakan yang diwajibkan adalah gerakan yang menjadi sahnya shalat, misalnya adalah ketika seorang yang sedang shalat memperhatikan di penutup kepalanya ada najis, maka ia bergerak untuk memindahkannya dan ia melepas penutup kepalanya tersebut. Hal ini sebagaimana pernah terjadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu datang malaikat Jibril sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang melaksanakan shalat berjama’ah dengan yang lainnya. Lalu Jibril memberitahukan bahwa di sendal beliau ada najis. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencopotnya sedangkan beliau shalat dan beliau terus melanjutkan shalatnya. (HR. Abu Daud no. 650. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih sebagaimana dalam Al Irwa’ 284) Contoh lainnya adalah ketika seseorang salah menghadap kiblat lalu ada yang mengingatkan, maka ia harus berpaling atau memutar badannya ke arah kiblat. Gerakan ini adalah wajib. 

 ➡Gerakan yang diharamkan adalah gerakan yang memenuhi tiga syarat:
(1) gerakannya banyak, 
(2) berturut-turut, dan 
(3) dilakukan bukan dalam keadaan darurat.
 Gerakan semacam ini adalah gerakan yang membatalkan shalat karena tidak boleh dilakukan saat itu. Perbuatan semacam ini termasuk mempermainkan ayat-ayat Allah. 

 ➡Gerakan yang disunnahkan adalah gerakan untuk melakukan perbuatan yang hukumnya sunnah dalam shalat. Seperti misalnya seseorang ketika shalat bergerak untuk meluruskan shaf. Atau ia melihat ada tempat yang kosong di depannya, lalu ia bergerak maju ke depan untuk mengisi kekosongan. Perbuatan ini termasuk sunnah dalam shalat karena dalam rangka menyempurnakan shalat. Dalil dari hal ini sebagaimana diterangkan dalam hadits bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat itu, ia berdiri di sebelah kiri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik kepala Ibnu ‘Abbas dari belakangnya dan menjadikannya di sebelah kanan beliau. (Hadits Muttafaqun ‘alaih) 

 ➡Gerakan yang dikatakan mubah (boleh) adalah gerakan yang sedikit karena ada hajat (butuh) atau gerakan yang banyak karena darurat. Contoh gerakan yang sedikit karena ada hajat adalah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat sambil menggending Umamah binti Abil ‘Ash, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Zainab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kakeknya dari ibunya. Ketika itu beliau berdiri sambil menggendongnya dan ketika sujud beliau meletakknya. (HR. Bukhari no. 5996 dan Muslim no. 543) 

 ➡Adapun gerakan yang mubah, banyak dan dalam kondisi darurat, contohnya adalah shalat dalam keadaan perang. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

 حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ* فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَاناً فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ 


 “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al Baqarah: 238-239)
 Shalat ketika perang itu bisa sambil berjalan. Orang yang shalat seperti ini tentu gerakannya banyak, namun seperti itu dibolehkan karena darurat.


➡Gerakan yang dimakruhkan adalah gerakan selain yang disebutkan di atas, yaitu hukum asal gerakan (di luar gerakan shalat), adalah d imakruhkan. Oleh karena itu, kita katakan pada orang yang bergerak sana-sini dalam shalat, gerakannya itu makruh, mengurangi kesempurnaan shalat. Jadi jika ada yang melihat-lihat jam, menggaruk-garuk kepalanya, memegang hidungnya, menyentuh-nyentuh jenggotnya, atau semisal itu, ini asalnya hukumnya makruh. Kecuali jika gerakan tersebut terlampau banyak dan berturut-turut, maka itu bisa jadi membatalkan shalat.

  Majmu’ Fatawa Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, 13/309-311]

 💻🔍 http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=130875

 http://bit.ly/Al-Ukhuwwah 

 السؤال: نرجو من فضيلتكم بيان حكم الحركة في الصلاة؟ الإجابة: الحركة في الصلاة الأصل فيها الكراهة إلا لحاجة، ومع ذلك فإنها تنقسم إلى خمسة أقسام: . القسم الأول: حركة واجبة. . القسم الثاني: حركة محرمة. . القسم الثالث: حركة مكروهة. . القسم الرابع: حركة مستحبة. . القسم الخامس: حركة مباحة. فأما الحركة الواجبة: فهي التي تتوقف عليها صحة الصلاة، مثل أن يرى في غترته نجاسة، فيجب عليه أن يتحرك لإزالتها ويخلع غترته، وذلك لأن النبي صلى الله عليه وسلم أتاه جبريل وهو يصلي بالناس فأخبره أن في نعليه خبثاً فخلعها صلى الله عليه وسلم وهو في صلاته واستمر فيها، ومثل أن يخبره أحد بأنه اتجه إلى غير القبلة فيجب عليه أن يتحرك إلى القبلة. وأما الحركة المحرمة: فهي الحركة الكثيرة المتوالية لغير ضرورة؛ لأن مثل هذه الحركة تبطل الصلاة، وما يبطل الصلاة فإنه لا يحل فعله؛ لأنه من باب اتخاذ آيات الله هزواً. وأما الحركة المستحبة: فهي الحركة لفعل مستحب في الصلاة، كما لو تحرك من أجل استواء الصف، أو رأى فرجة أمامه في الصف المقدم فتقدم نحوها وهو في صلاته، أو تقلص الصف فتحرك لسد الخلل، أو ما أشبه ذلك من الحركات التي يحصل بها فعل مستحب في الصلاة؛ لأن ذلك من أجل إكمال الصلاة، ولهذا لما صلى ابن عباس رضي الله عنهما مع النبي صلى الله عليه وسلم فقام عن يساره أخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم برأسه من ورائه فجعله عن يمينه. وأما الحركة المباحة: فهي اليسيرة لحاجة، أو الكثيرة للضرورة، أما اليسيرة لحاجة فمثلها فعل النبي صلى الله عليه وسلم حين كان يصلي وهو حامل أمامه بنت زينت بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو جدها من أمها فإذا قام حملها، وإذا سجد وضعها. وأما الحركة الكثيرة للضرورة: فمثل قوله تعالى: {حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ* فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَاناً فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ}، فإن من يصلي وهو يمشي لا شك أن عمله كثير ولكنه لما كان للضرورة كان مباحاً لا يبطل الصلاة. وأما الحركة المكروهة: فهي ما عدا ذلك وهو الأصل في الحركة في الصلاة، وعلى هذا نقول لمن يتحركون في الصلاة إن عملكم مكروه، منقص لصلاتكم، وهذا مشاهد عند كل أحد فتجد الفرد يعبث بساعته، أو بقلمه، أو بغترته، أو بأنفه، أو بلحيته، أو ما أشبه ذلك، وكل ذلك من القسم المكروه إلا أن يكون كثيراً متوالياً فإنه محرم مبطل للصلاة. ــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ مجموع فتاوى ورسائل الشيخ محمد صالح العثيمين - المجلد الثالث عشر - كتاب الحركة في الصلاة

Sabtu, 02 April 2016

Mati Bunuh Diri

Katanya mati bunuh diri itu mati sebelum waktunya dan bukan karena Allah Ta'ala, lalu apakah berarti yang mencabut nyawa bukan malaikat Izrail?

Dijawab oleh Ustadz As Sarbini Al Makassari:

Anggapan bahwa orang yang mati bunuh diri mati sebelum waktunya dan bukan karena Allah Ta'ala adalah aqidah yang batil. Ini adalah aqidah kaum Mu’tazilah yang sesat, yang mengingkari takdir Allah Ta'ala. Oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa orang yang mati terbunuh atau bunuh diri, adalah mati sebelum ajal yang diketahui, dikehendaki dan ditetapkan dalam Kitab Lauhul Mahfuzh oleh Allah  Ta'ala. Artinya mati di luar takdir Allah  Ta'ala. Kalau seandainya dia tidak terbunuh atau bunuh diri, dia akan hidup hingga ajal yang ditakdirkan oleh Allah  Ta'ala. Jadi menurut mereka, orang yang mati terbunuh punya dua ajal.
Yang benar menurut aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sesuai dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ salaf, bahwa orang yang mati terbunuh atau bunuh diri adalah mati sesuai ajal yang ditakdirkan oleh Allah  Ta'ala.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata: “Orang yang mati terbunuh sama halnya dengan orang mati lainnya. Tidak ada seorang pun yang mati sebelum ajalnya, dan tidak ada seorang pun yang kematiannya mundur dari ajalnya. Sebab ajal setiap sesuatu adalah batas akhir umurnya, dan umurnya adalah jangka waktu kehidupannya (di dunia). Jadi umur adalah jangka waktu kehidupan (di dunia) dan ajal adalah berakhirnya batas umur/kehidupan.”
Syaikhul Islam juga berkata: “Allah Maha Mengetahui segala sesuatu sebelum terjadinya dan Allah  Ta'ala telah menulisnya. Jadi Allah Ta'ala telah mengetahui bahwa orang ini akan mati dengan sebab penyakit perut, radang selaput dada, tertimpa reruntuhan, tenggelam dalam air, atau sebab-sebab lainnya. Demikian pula, Allah  Ta'ala telah mengetahui bahwa orang ini akan mati terbunuh, apakah dengan pedang, batu, atau dengan sebab-sebab lain yang menjadikan terbunuhnya seseorang.”
Jadi Allah  Ta'ala yang menakdirkan kematiannya dengan sebab itu. Allah  Ta'ala berfirman:
“Tidaklah suatu jiwa akan meninggal kecuali dengan seizin Allah (takdir Allah), Allah telah menulis ajal kematian setiap jiwa.” (Ali ‘Imran: 145)
As-Sa’di Rahimahullah menafsirkan ayat ini dengan berkata: “Kemudian Allah  Ta'ala mengabarkan bahwa seluruh jiwa tergantung ajalnya dengan izin Allah  Ta'ala, takdir dan ketetapan-Nya. Siapa saja yang Allah  Ta'ala tetapkan kematian atasnya dengan takdir-Nya, niscaya dia akan mati meskipun tanpa sebab. Sebaliknya, siapa saja yang dikehendaki-Nya tetap hidup, maka meskipun seluruh sebab yang ada telah mengenainya, hal itu tidak akan memudharatkannya sebelum ajalnya tiba. Karena Allah  Ta'ala telah menetapkan, menakdirkan dan menulis hidupnya hingga ajal yang ditentukan. Allah  Ta'ala berfirman:
“Maka jika ajal mereka telah datang mereka tidak mampu mengundurkannya sesaat pun dan mereka tidak mampu memajukannya (sesaat pun).” (Al-A’raf: 34)
Sebaliknya, kaum yang menafikan dan menolak adanya sebab-musabab dalam terjadinya sesuatu yang ditakdirkan oleh Allah  Ta'ala mengatakan bahwa seandainya dia tidak terbunuh, maka dia tetap akan mati saat itu.
Maka hal ini juga batil, dan dibantah oleh Ibnu Taimiyah t dengan mengatakan: “Kalau seandainya Allah  Ta'ala mengetahui bahwa orang tersebut tidak akan mati terbunuh, maka ada kemungkinan Allah  Ta'ala menakdirkan kematiannya pada saat itu dan ada kemungkinan Allah  Ta'ala menakdirkan tetap hidupnya dia hingga waktu yang akan datang. Maka penetapan salah satu dari dua kemungkinan tersebut atas takdir yang belum terjadi adalah kejahilan. Hal ini seperti perkataan seseorang: ‘Kalau orang ini tidak makan rezeki yang ditakdirkan Allah  Ta'ala untuknya, maka mungkin saja dia akan mati atau dia diberi rezeki yang lain’.” (Majmu’ Al-Fatawa [8/303-304] cet. Darul Wafa’, Syarhu Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Ibnu Abil ‘Izz hal. 143, cet. Al-Maktab Al-Islami, Taisir Al-Karim Ar-Rahman)
Yang mencabut nyawa orang yang mati bunuh diri juga malaikat pencabut nyawa, yaitu Malakul Maut. Adapun penamaan malaikat Izrail, maka penamaan ini tidak tsabit (shahih) dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, penamaan ini diingkari oleh para ulama. Al-Imam Al-Muhaddits Al-Albani dalam Syarhu wa Ta’liq Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah (hal. 84, cet. Maktabah Al-Ma’arif) ketika menjelaskan perkataan Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi Rahimahullah : “Kita juga beriman dengan Malakul Maut yang diperwakilkan untuk mencabut ruh-ruh alam.” Al-Albani berkata dalam syarahnya: ”Inilah namanya dalam Al-Qur’an. Adapun penamaan Izrail sebagaimana yang tersebar di kalangan manusia, tidak ada dalil (dasar)nya. Hanyalah sesungguhnya hal itu berasal dari cerita Al-Isra’iliyat (cerita Bani Isra’il).”
Al-Imam Al-Faqih Al-‘Utsaimin Rahimahullah berkata dalam Syarhu Al-Aqidah Al-Wasitiyyah (hal. 46, cet. Daruts Tsurayyah lin Nasyr): “Demikian pula kita mengetahui bahwa di antara para malaikat ada yang diperwakilkan untuk mencabut ruh-ruh Bani Adam atau ruh-ruh setiap makhluk yang bernyawa. Mereka adalah Malakul Maut dan rekan-rekan malaikat yang membantunya. Malakul Maut tidak bernama Izrail, karena penamaan tersebut tidak tsabit (tetap) dari Nabi n.”
Wallahu a’lam.


Sumber: majalah Asysyariah online  Asy Syariah Edisi 059
(asysyariah.com)

Memaafkan Kesalahan dan Mengubur Dendam


(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc.)
Waktu terus berputar dan beragam peristiwa ikut mengiringi derap langkah kehidupan manusia. Adalah kenyataan bahwa problematika hidup bermasyarakat sangatlah kompleks. Yang demikian itu karena masyarakat berikut seluruh lapisannya memiliki karakter dan kepribadian yang tidak sama.
Demikian pula tingkat pemahaman tentang agama dan kesiapan untuk menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari pun sangat beragam. Oleh sebab itu, masing-masing individu hendaknya memiliki kesiapan jiwa yang bisa menjadi bekal menghadapi keadaan apapun dengan tepat. Di antaranya adalah sikap tabah dan lapang dada yang didukung oleh ilmu syariat. Bisa dikatakan, secara umum orang itu siap untuk dipuji dan diberi, namun sangat berat jika dicela dan dinodai. Di sinilah ujian, apakah seseorang mampu menguasai dirinya saat pribadinya disinggung dan haknya ditelikung. Dalam Al-Qur’an, Allah l memuji orang-orang yang mampu menahan amarahnya seperti firman-Nya:
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya.” (Ali ’Imran: 134)
Demikian pula Rasulullah n telah menegaskan bahwa orang yang mampu menahan dirinya di saat marah dia sejatinya orang yang kuat. Rasulullah n bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيْدُ باِلصُّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat bukan yang banyak mengalahkan orang dengan kekuatannya. Orang yang kuat hanyalah yang mampu menahan dirinya di saat marah.” (HR. Al-Bukhari no. 6114)
Memaafkan
Adalah amalan yang sangat mulia ketika seseorang mampu bersabar terhadap gangguan yang ditimpakan orang kepadanya serta memaafkan kesalahan orang padahal ia mampu untuk membalasnya. Gangguan itu bermacam-macam bentuknya. Adakalanya berupa cercaan, pukulan, perampasan hak, dan semisalnya. Memang sebuah kewajaran bila seseorang menuntut haknya dan membalas orang yang menyakitinya. Dan dibolehkan seseorang membalas kejelekan orang lain dengan yang semisalnya. Namun alangkah mulia dan baik akibatnya bila dia memaafkannya. Allah l berfirman:
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Asy-Syura: 40)
Ayat ini menyebutkan bahwa tingkat pembalasan ada tiga:
Pertama: Adil, yaitu membalas kejelekan dengan kejelekan serupa, tanpa menambahi atau mengurangi. Misalnya jiwa dibalas dengan jiwa, anggota tubuh dengan anggota tubuh yang sepadan, dan harta diganti dengan yang sebanding.1
Kedua: Kemuliaan, yaitu memaafkan orang yang berbuat jelek kepadanya bila dirasa ada perbaikan bagi orang yang berbuat jelek. Ditekankan dalam pemaafan, adanya perbaikan dan membuahkan maslahat yang besar. Bila seorang tidak pantas untuk dimaafkan dan maslahat yang sesuai syariat menuntut untuk dihukum, maka dalam kondisi seperti ini tidak dianjurkan untuk dimaafkan.
Ketiga: Zalim yaitu berbuat jahat kepada orang dan membalas orang yang berbuat jahat dengan pembalasan yang melebihi kejahatannya. (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 760, cet. Ar-Risalah)
Kedudukan yang mulia
Memaafkan kesalahan orang acapkali dianggap sebagai sikap lemah dan bentuk kehinaan, padahal justru sebaliknya. Bila orang membalas kejahatan yang dilakukan seseorang kepadanya, maka sejatinya di mata manusia tidak ada keutamaannya. Tapi di kala dia memaafkan padahal mampu untuk membalasnya, maka dia mulia di hadapan Allah l dan manusia.
Berikut beberapa kemuliaan dari memaafkan kesalahan.
1. Mendatangkan kecintaan
Allah l berfirman dalam surat Fushshilat ayat 34-35:
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Dan sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (Fushshilat: 34-35)
Ibnu Katsir t menerangkan: “Bila kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepadamu maka kebaikan ini akan menggiring orang yang berlaku jahat tadi merapat denganmu, mencintaimu, dan condong kepadamu sehingga dia (akhirnya) menjadi temanmu yang dekat. Ibnu ‘Abbas c mengatakan: ‘Allah l memerintahkan orang beriman untuk bersabar di kala marah, bermurah hati ketika diremehkan, dan memaafkan di saat diperlakukan jelek. Bila mereka melakukan ini maka Allah l menjaga mereka dari (tipu daya) setan dan musuh pun tunduk kepadanya sehingga menjadi teman yang dekat’.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim 4/109)
2. Mendapat pembelaan dari Allah l
Al-Imam Muslim t meriwayatkan hadits Abu Hurairah z bahwa ada seorang laki-laki berkata: ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku punya kerabat. Aku berusaha menyambungnya namun mereka memutuskan hubungan denganku. Aku berbuat kebaikan kepada mereka namun mereka berbuat jelek. Aku bersabar dari mereka namun mereka berbuat kebodohan terhadapku.” Maka Rasulullah n bersabda:
لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Jika benar yang kamu ucapkan maka seolah-olah kamu menebarkan abu panas kepada mereka. Dan kamu senantiasa mendapat penolong dari Allah l atas mereka selama kamu di atas hal itu.” (HR. Muslim)

3. Memperoleh ampunan dan kecintaan dari Allah l
Allah ta'ala berfirman:
“Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (At-Taghabun: 14)
Adalah Abu Bakr z dahulu biasa memberikan nafkah kepada orang-orang yang tidak mampu, di antaranya Misthah bin Utsatsah. Dia termasuk famili Abu Bakr dan muhajirin. Di saat tersebar berita dusta seputar ‘Aisyah binti Abi Bakr istri Nabi n, Misthah termasuk salah seorang yang menyebarkannya. Kemudian Allah l menurunkan ayat menjelaskan kesucian ‘Aisyah dari tuduhan kekejian. Misthah pun dihukum dera dan Allah l memberi taubat kepadanya. Setelah peristiwa itu, Abu Bakr z bersumpah untuk memutuskan nafkah dan pemberian kepadanya. Maka Allah l menurunkan firman-Nya:
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (An-Nur: 22)
Abu Bakr z mengatakan: “Betul, demi Allah. Aku ingin agar Allah l mengampuniku.” Lantas Abu Bakr z kembali memberikan nafkah kepada Misthah z. (lihat Shahih Al-Bukhari no. 4750 dan Tafsir Ibnu Katsir 3/286-287)
Nabi n bersabda:
“Sayangilah –makhluk– maka kamu akan disayangi Allah l, dan berilah ampunan niscaya Allah l mengampunimu.” (Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 293)
Al-Munawi t berkata: “Allah l mencintai nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya yang di antaranya adalah (sifat) rahmah dan pemaaf. Allah l juga mencintai makhluk-Nya yang memiliki sifat tersebut.” (Faidhul Qadir 1/607)
Adapun Allah l mencintai orang yang memaafkan, karena memberi maaf termasuk berbuat baik kepada manusia. Sedangkan Allah l cinta kepada orang yang berbuat baik, sebagaimana firman-Nya:
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah l menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imran: 134)

4. Mulia di sisi Allah l maupun di sisi manusia
Suatu hal yang telah diketahui bahwa orang yang memaafkan kesalahan orang lain, disamping tinggi kedudukannya di sisi Allah l, ia juga mulia di mata manusia. Demikian pula ia akan mendapat pembelaan dari orang lain atas lawannya, dan tidak sedikit musuhnya berubah menjadi kawan. Nabi n bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ
“Shadaqah –hakikatnya– tidaklah mengurangi harta, dan tidaklah Allah l menambah seorang hamba karena memaafkan kecuali kemuliaan, dan tiada seorang yang rendah hati (tawadhu’) karena Allah l melainkan diangkat oleh Allah l.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)

Kapan memaafkan itu terpuji?
Seseorang yang disakiti oleh orang lain dan bersabar atasnya serta memaafkannya padahal dia mampu membalasnya maka sikap seperti ini sangat terpuji. Nabi n bersabda (yang artinya): “Barangsiapa menahan amarahnya padahal dia mampu untuk melakukan –pembalasan– maka Allah l akan memanggilnya di hari kiamat di hadapan para makhluk sehingga memberikan pilihan kepadanya, bidadari mana yang ia inginkan.” (Hadits ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3394)
Demikian pula pemaafan terpuji bila kesalahan itu berkaitan dengan hak pribadi dan tidak berkaitan dengan hak Allah l. ‘Aisyah x berkata: “Tidaklah Rasulullah n membalas atau menghukum karena dirinya (disakiti) sedikit pun, kecuali bila kehormatan Allah l dilukai. Maka beliau menghukum dengan sebab itu karena Allah l.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, tidaklah beliau disakiti pribadinya oleh orang-orang Badui yang kaku perangainya, atau orang-orang yang lemah imannya, atau bahkan dari musuhnya, kecuali beliau memaafkan. Ada orang yang menarik baju Nabi n dengan keras hingga membekas pada pundaknya. Ada yang menuduh Nabi n tidak adil dalam pembagian harta rampasan perang. Ada pula yang hendak membunuh Nabi n namun gagal karena pedang terjatuh dari tangannya. Mereka dan yang berbuat serupa dimaafkan oleh Nabi n. Ini semua selama bentuk menyakitinya bukan melukai kehormatan Allah l dan permusuhan terhadap syariat-Nya. Namun bila menyentuh hak Allah l dan agamanya, beliau pun marah dan menghukum karena Allah l serta menjalankan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Oleh karena itu, beliau melaksanakan cambuk terhadap orang yang menuduh istri beliau yang suci berbuat zina. Ketika menaklukkan kota Makkah, beliau memvonis mati terhadap sekelompok orang musyrik yang dahulu sangat menyakiti Nabi karena mereka banyak melukai kehormatan Allah l. (disarikan dari Al-Adab An-Nabawi hal. 193 karya Muhammad Al-Khauli)
Kemudian, pemaafan dikatakan terpuji bila muncul darinya akibat yang baik, karena ada pemaafan yang tidak menghasilkan perbaikan. Misalnya, ada seorang yang terkenal jahat dan suka membuat kerusakan di mana dia berbuat jahat kepada anda. Bila anda maafkan, dia akan terus berada di atas kejahatannya. Dalam keadaan seperti ini, yang utama tidak memaafkan dan menghukumnya sesuai kejahatannya sehingga dengan ini muncul kebaikan, yaitu efek jera. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menegaskan: “Melakukan perbaikan adalah wajib, sedangkan memaafkan adalah sunnah. Bila pemaafan mengakibatkan hilangnya perbaikan berarti mendahulukan yang sunnah atas yang wajib. Tentunya syariat ini tidak datang membawa hal yang seperti ini.” (lihat Makarimul Akhlaq karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hal. 20)

Faedah
Ada masalah yang banyak dilakukan orang dengan tujuan berbuat baik, misalnya kala seseorang mengemudikan kendaraannya lalu menabrak seseorang hingga meninggal. Kemudian keluarga korban datang dan menggugurkan diyat (tebusan) dari pelaku kecelakaan. Apakah perbuatan mereka menggugurkan tebusan termasuk perkara terpuji, atau dalam hal ini perlu ada perincian?
Dalam masalah ini, yang benar ada perincian, yaitu melihat kondisi orang yang menabrak. Apakah dia termasuk orang yang ugal-ugalan dan tidak peduli siapa pun yang dia tabrak? Bila seperti ini, yang utama adalah tidak dimaafkan agar memunculkan efek jera. Juga agar manusia selamat dari kejahatannya. Tetapi bila yang menabrak orangnya baik dan sudah berhati-hati serta mengemudikan kendaraannya dengan stabil, maka di sini pun ada perincian:
1. Bila si korban punya utang yang tidak bisa dibayar kecuali dengan uang tebusan maka bagi ahli waris tidak ada hak untuk menggugurkan tebusan.
2. Bila si korban tidak punya utang namun dia punya anak-anak yang masih kecil dan belum mampu usaha, maka tidak ada hak bagi ahli waris untuk memaafkan pelaku.
Bila dua keadaan ini tidak ada, maka memaafkan lebih utama. (disarikan dari Kitabul ‘Ilmi hal. 188-189 karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t)

Manusia-manusia pilihan
Orang yang mulia selalu menghiasi dirinya dengan kemuliaan dan selalu berusaha agar dalam hatinya tidak bersemayam sifat-sifat kejelekan. Para Nabi Allah l merupakan teladan dalam hal memaafkan kesalahan orang. Misalnya adalah Nabi Yusuf q. Beliau telah disakiti oleh saudara-saudaranya sendiri dengan dilemparkan ke dalam sumur, lantas dijual kepada kafilah dagang sehingga berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dengan menanggung penderitaan yang tiada taranya. Namun Allah l berkehendak memuliakan hamba-Nya melalui ujian ini. Allah l pun mengangkat kedudukan Nabi Yusuf q sehingga menjadi bendahara negara di Mesir kala itu. Semua orang membutuhkannya, tidak terkecuali saudara-saudaranya yang dahulu pernah menyakitinya. Tatkala mereka datang ke Mesir untuk membeli kebutuhan pokok mereka, betapa terkejutnya saudara-saudara Nabi Yusuf q ketika tahu bahwa Nabi Yusuf q telah diangkat kedudukannya sebegitu mulianya. Mereka pun meminta maaf atas kesalahan mereka selama ini. Nabi Yusuf q memaafkannya dan tidak membalas. Beliau q mengatakan:
“Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kalian, mudah-mudahan Allah mengampuni (kalian), dan Dia adalah Maha penyayang di antara para Penyayang.” (Yusuf: 92)
Demikian pula Nabi Musa dan Nabi Khidhir e, ketika keduanya melakukan perjalanan dan telah sampai pada penduduk suatu negeri. Keduanya meminta untuk dijamu oleh penduduk negeri itu karena mereka adalah tamu yang punya hak untuk dijamu. Namun penduduk negeri itu tidak mau menjamu. Ketika keduanya berjalan di negeri itu, didapatkannya dinding rumah yang hampir roboh, maka Nabi Khidhir q menegakkan dinding tersebut.
Adapun Nabi Muhammad n, beliau adalah manusia yang terdepan dalam segala kebaikan. Pada suatu ketika ada seorang wanita Yahudi memberi hadiah kepada Nabi n berupa daging kambing. Nabi n tidak tahu ternyata daging itu telah diberi racun. Nabi n pun memakannya. Setelah itu Nabi n diberi tahu bahwa daging itu ada racunnya. Nabi n berbekam dan dengan seizin Allah l beliau tidak meninggal. Wanita tadi dipanggil dan ditanya maksud tujuannya. Ternyata dia ingin membunuh Nabi n. Maka Nabi n memaafkan dan tidak menghukumnya. (Bisa dilihat di Shahih Al-Bukhari no. 2617 dan Zadul Ma’ad 3/298)
Wallahu a’lam.

Sumber :
asysyariah.com
Asy Syariah Edisi 053 

Jalan Kebenaran hanya satu

Booklet AL-ILMU Kendari edisi Jumat, 24 Muharram 1437 H / 06 November 2015 M

04
بسم الله الرحمن الرحيم
اَلْحَمْدُ ِللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَعَلىٰ آلِهِ وَ مَنْ وَالاَهُ، وَبَعْدُ
Pepatah mengatakan, “Banyak jalan menuju ke Roma.” Berdalih dengan pepatah ini, banyak orang yang menukilnya untuk menggambarkan bahwa jalan ke surga itu bisa ditempuh melalui banyak cara. Menurut mereka, berbagai praktik beragama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam -sekalipun menyelisihi sunnah Rasulullahshalallahu ‘alaihi wassalam– bisa mengantarkan ke surga. Walaupun berbeda-beda tata cara ibadahnya, selama niat dan maksudnya adalah kebaikan, pada hakikatnya tujuan mereka sama, yaitu surga. Beragam kelompok Islam dengan berbagai perbedaannya itu justru merupakan rahmat.
Lebih naif lagi, kaidah ini mereka kembangkan untuk menyikapi orang-orang kafir, bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani juga akan masuk surga. Hal ini mereka nyatakan demi kesetaraan kaum beriman, yang berbeda hanya tata cara beragamanya. Benarkah jalan menuju surga itu banyak dan bisa ditempuh dengan berbagai cara?
  • Penjelasan Allah dalam al-Qur’an
Pembaca Qonitah yang semoga dirahmati Allah, siapakah yang paling tahu tentang jalan menuju surga? Semua orang beriman pasti setuju bahwa Allah-lah yang paling tahu tentang jalan menuju surga-Nya. Sebab, hanya Dia yang memiliki dunia dan akhirat. Mari, kita lihat penjelasan Allah tentang jalan kebenaran yang bisa mengantarkan setiap hamba kepada-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Hal itu diperintahkan kepada kalian agar kalian bertakwa.” (al-An’am: 153)
Dalam ayat yang mulia ini Allah menyebutkan jalan-Nya dalam bentuk mufrad (tunggal), bukan dalam bentuk jamak. Artinya, jalan-Nya hanya satu, tidak berbilang. Sebaliknya, ketika menyebutkan jalan-jalan kesesatan, Allah menyebutkannya dalam bentuk jamak. Artinya, jalan kesesatan itu banyak jumlahnya.
Seorang ulama ahli tafsir terkemuka, al-Imam Qatadah rahimahullah, ketika menafsirkan firman-Nya هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمٗا mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya jalan kebenaran itu adalah jalan yang satu saja, yang semuanya adalah petunjuk, dan tempat kembalinya adalah surga. Adapun Iblis telah membuat banyak jalan yang terpecah-pecah, semuanya adalah kesesatan, dan tempat kembalinya adalah neraka.”
Al-Imam as-Sa’di rahimahullah berkata, “…maka ikutilah jalan Allah tersebut agar kalian bisa meraih kemenangan dan keberhasilan, serta meraih cita-cita dan kebahagiaan. Jangan mengikuti jalan-jalan (yang lain), yaitu jalan-jalan yang menyelisihi jalan-Nya, yang menyebabkan kalian terpisah (menyimpang) dari jalan-Nya, yaitu tersesat dan menyimpang ke kanan dan ke kiri.” (Tafsir as-Sa’di)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hal itu karena jalan yang mengantarkan kepada Allah itu hanya satu, yaitu jalan yang dengannya Allah mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya. Walaupun manusia membawa berbagai jalan dan minta dibukakan dari setiap pintu, semua jalan tersebut buntu, dan pintu-pintu tersebut tertutup bagi mereka, kecuali jalan yang satu ini, yang bersambung dengan Allah dan mengantarkan kepada-Nya.” Allahsubhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barang siapa mencari agama selain Islam, sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”(Ali ‘Imran: 85)
Jalan-jalan selain Islam adalah jalan kesesatan. Sebab, setelah Allah mengutus Rasulullahshalallahu ‘alaihi wassalam, terhapuslah segala ajaran terdahulu. Tidak ada kelonggaran lagi bagi siapa pun yang mendengar seruan Islam kecuali harus mengikutinya. Rasulullahshalallahu ‘alaihi wassalam bersabda dalam hadits Abu Hurairah,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, tidaklah seorang Yahudi atau Nasrani dari kalangan umat ini mendengar tentang diriku, kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman kepada ajaran yang kubawa, melainkan termasuk penghuni neraka.”(HR. Muslim)
Ayat dan hadits di atas mengandung bantahan terhadap paham pluralisme agama yang membenarkan segala ajaran agama. Klaim mereka bahwa semua agama itu sama -sekalipun berbeda-beda pengamalannya, tujuan mereka adalah sama, yaitu masuk surga- sudah dibantah oleh Allah dan Rasul-Nya. Jalan yang mengantarkan kepada Allah itu hanya Islam yang diajarkan oleh Rasulullah. Barang siapa tidak beriman kepada Nabi Muhammadshalallahu ‘alaihi wassalam, dia kafir dan kekal di neraka.
  • Penjelasan Rasulullah
Siapa orang pertama yang paling tahu tentang jalan kebenaran? Tentu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam jawabannya. Beliau telah menerangkan bahwa jalan kebenaran itu hanya satu, tidak berbilang. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam membuat untuk kami sebuah garis yang lurus dengan tangan beliau, lalu bersabda,‘Ini adalah jalan Allah yang lurus.’ Kemudian, beliau membuat garis di kanan dan kiri garis tersebut, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan, yang di setiap jalan tersebut pasti ada setan yang menyeru kepadanya.’ Beliau membaca firman Allah,
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
‘Bahwasanya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya’.” (HR. Ahmad)
Al-Imam Mujahid rahimahullah, salah satu ulama ahli tafsir, murid Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Janganlah kalian mengikuti jalan-jalan, yakni bid’ah dan syubhat.”
Pada masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, para sahabat dibimbing untuk menempuh jalan kebenaran. Segala sisi jalan kebenaran telah Beliau shalallahu ‘alaihi wassalam ajarkan. Pada akhir masa generasi sahabat, mulailah timbul hawa nafsu dan syubhat (kerancuan dalam mengamalkan agama Islam). Setelah para sahabat Rasulullah wafat, kebid’ahan dan hawa nafsu pun semakin berkembang. Sungguh benar penjelasan al-Imam Mujahid bahwa kebid’ahan dan syubhat menyebabkan penyimpangan dari jalan Allah. Oleh karena itulah, umat manusia terpecah dalam berbagai aliran.
Lihatlah bagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menggambarkan jalan kebenaran dengan sebuah garis lurus! Hal ini menunjukkan bahwa jalan kebenaran hanya satu. Sementara itu, beliau gambarkan jalan-jalan kesesatan dengan banyak garis, yang menunjukkan bahwa jalan kesesatan itu banyak dan terpecah-pecah.
  • Cara Menempuh Jalan Kebenaran
Teranglah bagi kita, bahwa jalan kebenaran memang hanya satu, tidak berbilang. Kita semua tentu ingin meniti jalan kebenaran itu. Lalu, bagaimanakah cara menempuh jalan tersebut? Sementara kita saksikan, setiap kelompok Islam mengaku bahwa merekalah yang benar, merekalah yang lurus, sedangkan yang lain salah. Lantas, apa yang menjadi standar kebenaran?
Ingatlah, ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wassalammemberi kabar kepada kita, bahwa umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. Sabda beliau dalam hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyanradhiyallahu ‘anhu“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahli kitab telah terpecah menjadi 72 golongan. Adapun umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan; 72 di neraka, dan satu di surga, yaitu al-Jama’ah.” (HR. Ahmad)
At-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan tambahan dalam hadits ini, “Al-Jama’ah adalah siapa saja yang mengamalkan Islam sebagaimana pengamalanku dan para sahabatku.”
Hanyalah satu kelompok yang selamat, yaitu yang mengamalkan Islam seperti pengamalan Rasulullah dan para sahabat beliau. Adapun yang lainnya masuk neraka untuk dibersihkan dari penyimpangan-penyimpangan yang mereka lakukan, meski akhirnya mereka pun dimasukkan ke surga.
Dalam hadits lain Beliau shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memuji tiga generasi terbaik umat Islam. Yang pertama adalah generasi beliau, yakni para sahabat beliau. Mereka telah mengambil ajaran Islam yang masih segar, langsung dari Rasulullahshalallahu ‘alaihi wassalam. Mereka mengamalkan Islam dengan bimbingan langsung dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Generasi setelahnya adalah generasi tabi’in, yaitu generasi yang menimba ilmu dari para murid Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Generasi setelahnya adalah yang menimba ilmu dari tabi’in, yaitu atba’ut tabi’in.
Ketiga generasi ini telah mengamalkan Islam dengan sebaik-baiknya, Islam yang masih murni, belum tercampuri oleh berbagai bid’ah dan syubhat. Ketiga generasi terbaik inilah yang disebut sebagai as-salafush shalih (pendahulu kita yang saleh). Maka dari itu, barang siapa ingin menempuh jalan kebenaran, hendaknya dia mengikuti metode mereka dalam mengamalkan Islam, baik dalam hal ibadah, akidah, adab, maupun muamalah. Singkatnya, al-Qur’an dan as-Sunnah mesti diamalkan berdasarkan pemahaman as-salafush shalih.
Namun, ada hal penting yang perlu kita perhatikan. Sekalipun mereka adalah generasi terbaik, kita tetap tidak boleh taklid kepada individu sahabat, tabi’in, dan atba’ut tabi’in. Sebab, mereka itu manusia biasa, tidak maksum. Terkadang mereka juga berselisih, hanya saja perselisihan mereka sangat sedikit. Seandainya kita mendapati perselisihan pendapat mereka, hendaknya kita tetap memilih pendapat yang cocok dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Ibnul Qasim berkata, “Saya mendengar al-Imam Malik dan al-Laits berkata, ‘Perselisihan para sahabat Rasulullah itu tidak seperti yang dikatakan manusia bahwa padanya ada kelapangan. Tidak demikian, yang ada adalah benar dan salah.’ Pendapat yang sesuai dengan dalil, itulah kebenaran yang kita ikuti.”
Pembaca Qonitah yang dirahmati oleh Allah…. Kesimpulannya, jalan kebenaran adalah mengamalkan al-Qur’an dan as-Sunnah berdasarkan pemahaman as-salafush shalih. Itulah prinsip untuk menentukan suatu kebenaran.
Di jalan kebenaran itulah terdapat beragam amalan yang bisa mengantarkan ke surga. Misalnya, menegakkan shalat, berpuasa, menunaikan zakat, berhaji, berjihad, berdakwah, membaca al-Qur’an, berzikir, dan sebagainya. Amalan-amalan tersebut adalah jalan-jalan keselamatan. Jadi, jalan keselamatan memang banyak jumlahnya, tetapi bermuara kepada satu jalan kebenaran, yaitu pelaksanaannya berdasarkan pemahaman as-salafush shalih. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ. يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلامِ
“Telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan (al-Qur’an). Yang dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan-jalan keselamatan.” (al-Maidah: 15-16)
Demikianlah gambaran hakikat jalan kebenaran. Jalan inilah yang setiap hari kita mohon kepada Allah dalam setiap rakaat shalat kita,
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (al-Fatihah: 6) 
Jalan yang lurus itu mesti diupayakan dengan menuntut ilmu agama, kemudian mencurahkan segala kemampuan untuk mengamalkannya. Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk selalu berada di jalan-Nya sampai kita menghadap-Nya. Amin. Wallahu a’lamu bish shawab.
PenulisAl-Ustadz Abu Hafs Umar hafidzahullah

*********** Permata Salaf***********

SEBAB PENYIMPANGAN

Al-Imam Ibnu Baththah rahimahullahmengatakan, “Ketahuilah, wahai saudara-saudaraku, saya telah merenungkan sebab yang mengeluarkan sekelompok orang dari as-Sunnah dan al-Jamaah, memaksa mereka menuju kebid’ahan dan keburukan, membuka pintu bencana yang menimpa hati mereka, dan menutupi cahaya kebenaran dari pandangan mereka. Saya temukan sebabnya dari dua sisi:
1.    Mencari-cari, berdalam-dalam, dan banyak bertanya yang tidak perlu (tentang masalah tertentu), yang tidak membahayakan seorang muslim kalau ia tidak tahu, serta tidak pula bermanfaat bagi seorang mukmin seandainya ia tahu.
2.    Duduk bersama dan bergaul dengan orang yang tidak dirasa aman dari kejelekannya, yang berteman dengannya akan merusak kalbu.”
(al-Ibanah, karya Ibnu Baththah rahimahullah, 1/390)

TERUS TERANG DAN MENASIHATI

Ketika berteman dengan orang-orang yang baik, seseorang terkadang mendapatkan nasihat yang keras. Akan tetapi, ketika bersahabat dengan orang-orang yang buruk, dia akan sering mendapatkan basa-basi dan sanjungan.
Semoga Allah ‘azza wa jalla merahmati Malik bin Dinar ketika mengatakan,
إِنَّك إِنْ تَنْقُلِ الْحِجَارَةَ مَعَ الْأَبْرَارِ خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ تَأْكُلَ الْحَلْوَى مَعَ الْفُجَّارِ
“Sungguh, engkau memindahkan batu bersama orang-orang yang baik, itu lebih baik daripada engkau memakan manisan bersama orang-orang yang jelek.”
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sulit didapatkan pada masa ini seorang teman yang memiliki sifat ini (terus terang dan menasihati). Sebab, jarang sekali ada kawan yang tidak memberikan sanjungan, justru memberi tahu kekurangan. Dahulu, salaf mencintai orang yang mengingatkan mereka tentang berbagai kekurangan mereka. Adapun kita sekarang, biasanya menjadikan orang yang mengetahui kekurangan kita sebagai orang yang paling dibenci. Ini adalah tanda lemahnya iman.” (Mukhtashar Minhajil Qashidin hlm. 147)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahmengatakan, “Saudaramu ialah yang menasihati, mengingatkan, dan memperingatkan dirimu. Orang yang tidak memerhatikanmu, berpaling darimu, dan berbasabasi denganmu, bukanlah saudaramu. Saudaramu yang sejati ialah orang yang menasihatimu, memberimu wejangan, mengingatkanmu, dan mengajakmu kepada jalan Allah ‘azza wa jalla. Ia menjelaskan kepadamu jalan keselamatan sehingga engkau bisa menitinya. Selain itu, dia memperingatkanmu dari jalan kebinasaan dan akibat buruknya sehingga engkau bisa menjauhinya.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 21/14)

Sumber:
  • http://qonitah.com/jalan-kebenaran-hanya-satu/
  • http://asysyariah.com/category/permata-salaf/
Dikutip dari ahlussunnahkendari.com