Selasa, 23 Agustus 2016

MAKAR ORANG KAFIR MELALUI MEDIA MASSA (Bag. 01)

Freedom of the Press. Ya, kebebasan pers. Bebas tanpa batas. Kalau pun ada batas, maka batas itu pun masih ditafsir bebas tiada berbatas.

Freedom of the Press. Deret kalimat ampuh untuk memayungi keberadaan media massa di tengah masyarakat dan di hadapan penguasa. Dengan slogan ‘Kebebasan Pers’ media massa bebas melakukan pemberitaan sesuai misinya. Ungkapan ‘Kebebasan Pers’ sendiri bila ditelisik bukan asli karya anak bangsa Indonesia. Ungkapan itu muncul bersumber dari Amandemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat: “Congress shall make no law… abridging the freedom of speech, or of the press.” (Kongres dilarang membuat hukum… yang membatasi kebebasan berbicara atau pers).

Karena itu, tak aneh bila ‘Kebebasan Pers’ sangat kental beraroma Amerika. Lebih-lebih, lahirnya Undang-undang Pers No. 40/1999 di Indonesia tak lepas dari keterlibatan ahli hukum Article 19, Toby Mendel. Sisi lain, UU Pers No. 40/1999 melandasi dengan Pasal 19 UU HAM: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apa pun juga dengan tidak memandang batas-batas.” (Lihat Membincang Pers, Kepala Negara, dan Etika Media, Sirikat Syah, hlm. 3-4)

Lengkaplah sudah arti sebuah kebebasan. Bebas menerabas kultur masyarakat Indonesia yang banyak diwarnai norma agamis. Bebas tidak memandang batas-batas. Jadi, media massa pun bebas menyiarkan berita selama ada fakta. Tak memedulikan dampak berita itu di tengah masyarakat. Juga tak memedulikan asas kepatutan dan moral. Sebut saja, siaran televisi berisi talk show yang mengadu domba, sinetron yang menyesatkan dan membodohkan, atau sebuah acara yang menayangkan naluri dan perilaku rendah manusia digali dan diekspos (Lihat Membincang Pers, hlm.194), infotainment yang banyak membongkar aib, serta berita yang dikemas sesuai misi meraup dunia dan kekuasaan. Bahkan, tak sedikit yang terang-terangan menyajikan menu yang mengundang syahwat selera rendah.

Media massa telah menjadi alat untuk menyuarakan kebebasan yang tiada kendali. Walau dengan kebebasan itu bakal menimbulkan berbagai kerusakan di tengah masyarakat. Media massa semakin jauh dari kesantunan. Media massa menjadi pupuk penyubur para kapitalis tak berhati lurus.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

إِنَّ ٱلَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ ٱلۡفَٰحِشَةُ فِي ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ١٩

“Sesungguhnya orang-orang yang menginginkan agar (berita) perbuatan yang keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (an-Nur: 19)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah memberi penjelasan terkait ayat di atas bahwa yang dimaksud “menyukai penyebaran perbuatan keji (al-fahisyah) di kalangan orang-orang beriman” meliputi dua makna:

1⃣ Menyukai al-fahisyah tersebar di tengah kaum muslimin.

Terkait hal ini, menyebarkan beragam film cabul dan surat kabar (atau media lainnya –red.) yang jelek, jahat dan porno. Media-media semacam ini, tak diragukan lagi, merupakan media yang menyukai penyebaran al-fahisyah di tengah masyarakat muslimin. Mereka menghendaki timbulnya kerusakan agama pada diri seorang muslim. Tentunya, kerusakan itu timbul melalui sebab perbuatan mereka (yang menyebarkan al-fahisyah) melalui beragam majalah, surat kabar, dan media lainnya. Barang siapa menyukai al-fahisyah itu tersebar di tengah kaum muslimin, dia berhak untuk mendapatkan azab nan pedih di dunia dan akhirat.

2⃣ Menyukai al-fahisyah tersebar pada kalangan tertentu, bukan lingkup masyarakat Islam secara menyeluruh.

Balasan bagi yang berbuat demikian ialah diazab di dunia dan akhirat. (Syarhu Riyadhi ash-Shalihin, I/598)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar